PERTAKINA BERDAYA

BERITA

Kisah Mereka yang Menolak Gagal

Arum Sholikah (37), warga Kecamatan Garum, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, tersenyum merekah. Di sela-sela membuat nugget ayam jamur di rumah, ia bisa melihat tingkah dua anaknya.

Anak pertama, Galvinesa (11), duduk di kelas V sekolah dasar dan adiknya, Haidar (4,5), masih di taman kanak-kanak. ”Kerja di rumah seperti ini mungkin hasilnya tidak banyak. Namun, sekarang saya lebih nyaman. Saya bisa melihat anak-anak tumbuh besar. Itu jauh lebih berharga daripada saya kerja cari uang di luar negeri, tapi melewatkan kesempatan menyaksikan mereka tumbuh setiap hari,” ujar Arum, Senin (7/8), Arum adalah tenaga kerja Indonesia (TKI) di Taiwan tahun 2007-2010. Selama di negara itu, Arum mengasuh beberapa anak di tempat penampungan. Saat ia mengurus anak orang lain, ia harus meninggalkan Galvinesa yang saat itu masih berusia 2 tahun. Saat modal untuk usaha di Blitar dirasakan cukup, tahun 2010 Arum pulang. ”Sekarang saya punya usaha sendiri. Awalnya takut memulai usaha. Lalu, saya kenal dengan komunitas Pertakina (Perkumpulan Tenaga Kerja Indonesia Purna) dan diajak ikut pelatihan,” kata Arum. Reni Mulia Sari (30), mantan TKI di Hongkong asal Kecamatan Sutojayan, Kabupaten Blitar, mengisahkan hal serupa. Dara yang sejak 2006 bekerja di Hongkong itu hampir kembali ke Hongkong pada 2016. Ia sudah mengurus visa dan tinggal menunggu kembali ke Hongkong. Ia terpaksa kembali bekerja di luar negeri karena modal habis dan tak tahu lagi harus bekerja apa. Januari 2017, saat menanti visa, Reni bertemu dengan Sucipto dan Sulistianingsih, suami istri pendiri komunitas Pertakina. Reni diajak ikut pelatihan bagi mantan TKI dan keluarganya.

”Saya ikut pelatihanmembuat keripik singkong, kue, dan pelatihan mengurus izin PIRT (pangan industri rumah tangga). Izin PIRT makanan yang saya buat juga turun. Saya putuskan tak jadi ke Hongkong,” ujarnya. Di Blitar, Reni berjualan nugget dan makanan kecil. Ia pun beternak lele bersama keluarga.

Purna-TKI

Kisah dua mantan TKW itu jadi bagian tak terpisahkan dari lika-liku Pertakina asal Kabupaten Blitar, yang berdiri sejak 2007. Namun, komunitas purna-TKI dan keluarganya ini baru mendapat SK Kementerian Hukum dan HAM 16 Maret 2016. Pertakina lahir dari keprihatinan Sucipto (52), mantan TKI di kapal ekspedisi Singapura. Tahun 2006, Sucipto pulang ke Blitar. Kerumitan demi kerumitan terkait TKI terus datang di hadapan Sucipto. Mulai dari TKI pulang tanpa gaji, TKI pulang mati atau gila, hingga TKI hilang tanpa ada kabar sampai belasan tahun. Segala persoalan itu ditemui Sucipto di desanya, yaitu Dusun Termas, Desa Kedunduren, Kecamatan Ponggok. Di desa itu, 80 persen dari 120 keluarga adalah TKI. Persoalan lain yang dilihat Sucipto adalah banyaknya kasus perceraian di antara keluarga TKI. Anak-anak TKI pun merajai kasus hukum di kepolisian. Sucipto, yang rumah tangganya juga kandas setelah ditinggal bekerja 14 tahun, akhirnya mengajak beberapa tetangga berhimpun mendampingi TKI.

Saat itu, tahun 2007, perkumpulan diberi nama Srikandi. Srikandi awalnya beranggotakan purna-TKI dan keluarganya dari Kedunduren. Tujuannya mendampingi purna-TKI dan keluarganya yang butuh bantuan. Misalnya, TKI pulang tinggal jasad. Srikandi mengupayakan agar keluarga almarhum mendapatkan hak uang asuransi. Di beberapa negara, seorang TKI diasuransikan jiwanya sehingga jika terjadi kecelakaan atau mati, keluarganya berhak mendapatkan uang asuransi. Untuk mengurus semua persoalan itu tidak gampang. Sucipto harus bertaruh nyawa saat pemilik perusahaan pengerah tenaga kerja menodongnya dengan senjata api. Semua akhirnya selesai setelah dibicarakan dari hati ke hati. Perkumpulan Srikandi melakukan seluruh pendampingan dengan gratis. Perkumpulan itu juga mengupayakan TKI yang sudah pulang agar tidak kembali lagi ke luar negeri. Sekembalinya ke Indonesia, rata-rata para TKI hanya bergantung hidup dari uang selama bekerja di luar negeri. Mereka tidak mampu membuka usaha atau bekerja di bidang lain. Ujung-ujungnya, saat modal habis, mereka kembali ke luar negeri dengan menjual tanah. ”Mantan TKI hanya butuh ditemani saat susah. Saat mereka terpuruk, ada teman yang mendengar dan memberi saran. Peran perkumpulan juga ada di sana kemudian memberikan pelatihan” kata Sulistianingsih, istri Sucipto. Sulistianingsih sebelumnya bekerja sebagai TKI selama lima tahun di Hongkong. Dari awalnya hanya ada di satu desa, Srikandi terus berkembang hingga ada di setiap kecamatan di Blitar.

Tahun 2016, nama perkumpulan Srikandi diubah menjadi Pertakina karena jangkauannya hingga ke daerah lain, seperti Tulungagung, Kediri, Madiun, dan Ponorogo. Kini, beberapa daerah, seperti Malang, Banyuwangi, Probolinggo, dan Lumajang, akan membentuk Pertakina. Anggota Pertakina kini 200-an orang. Mereka rata-rata ”orang-orang kalah” di negeri sendiri yang memilih mencari peruntungan di negeri orang. Di rumah tak sedikit di antara mereka yang menemukan kekalahan-kekalahan lain, seperti keluarga hancur karena suami atau istri selingkuh, uang yang dikirim tak berbentuk, atau anak tersangkut kasus hukum. Menariknya, ”orang-orang kalah” itu menghidupkan Pertakina secara gotong royong. Jika ada pendampingan TKI ke luar kota, mereka patungan membiayai anggota yang berangkat. Tidak ada bantuan dari pemerintah. Hanya untuk pelatihan, Pertakina menggandeng pemerintah sebagai pemateri. Februari 2017, Pertakina membentuk koperasi pemasaran produk anggota. Dari sini, kas Pertakina terisi dan anggota semakin percaya diri.

Sumber : https://www.pressreader.com/indonesia/kompas/20170823/281487866470589

Share the Post:

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Join Our Newsletter

Tentang kami

PERTAKINA (Perkumpulan Tenaga Kerja Purna & Keluarga) adalah Organisasi Non pemerintah yang berbadan hukum perkumpulan, bergerak pada sektor pemberdayaan tenaga kerja Indonesia (TKI) Purna.

Kontak Kami

Dusun Sanan
Desa Dayu rt 03/01
Kecamatan Nglegok
Kabupaten Blitar 66181

Scroll to Top